Mengacu pada
PP No. 04 Tahun 2001 pasal 17 dijelaskan bahwa penanggulangan kebakaran lahan
tidak berlaku bagi masyarakat adat atau tradisional. Dengan demikian masyarakat
adat diperbolehkan membuka lahan dengan cara membakar dengan catatan luas lahan
yang dibakar tidak lebih dari 2 Ha serta tidak diperkenankan sampai membakar
lahan yang bukan miliknya. Namun, sangat disayangkan terkadang banyak
oknum-oknum masyarakat yang menyatakan dirinya sebagai masyarakat adat sehingga
mereka membuka lahan dengan cara dibakar dan luas lahan yang dibakar lebih dari
2 Ha.
Hal
seperti diataslah yang kini sedang terjadi di tengah-tengah kemelutnya
kebakaran hutan di Riau. Dimana di Riau banyak masyarakat yang membakar lahan
dan mengatasnamakan dirinya sebagai “masyrakat adat” namun luas lahan yang
dibakar lebih dari 2 Ha, seorang bisa memiliki lahan seluas 5-10 Ha, bahkan
bisa sampai 100-200 Ha. Selain itu, tidak sedikit pelaku pembakaran mengaku
sebagai masyarakat kecil dan melakukan pembakaran lahan semata-mata untuk menghidupi
diri sendiri dan keluarganya. Benarkah alasan yang mereka ungkapkan? Benarkah mereka
hanyalah masyarakat kecil yang mencoba bertahan hidup di tengah-tengah roda
perkembangan zaman?
Lahan
yang telah dibuka dengan cara dibakar oleh masyarakat tersebut biasanya mayoritas
disulap menjadi perkebunan sawit. Ambil contoh seorang warga membuka lahan
seluas 5 Ha. Untuk 1 Ha, jumlah bibit sawit yang ditanam bisa mencapai 130 buah
dengan jarak tanam 9x9 m2. Selain itu perlu disiapkan sekitar 20%
tambahan bibit untuk keperluan penyulaman dan cadangan bibit sawit tersebut.
Jadi bibit sawit yang diperlukan 156 bibit dibulatkan menjadi 150. Harga bibit
sawit dipasaran dengan umur 3 bulan bisa mencapai Rp 15.500/batang. Modal awal
untuk 1 Ha yaitu 150 bibit x Rp 15.500 sama dengan Rp 2.325.000. Itu hanya
untuk lahan seluas 1 Ha. Jadi bisa dibayangkan jika seorang yang memiliki lahan
seluas 5 Ha berapa biaya yang harus dikeluarkan.
Jadi
perlu dipertanyakan, apakah benar mereka tersebut benar-benar termasuk masyarakat
kecil? Ataukah ada orang ataupun kelompok lain yang mendalangi semua ini dengan
memberikan modal bagi orang-orang ini? Terlebih jika masyarakat tersebut
memiliki lahan hingga 100 Ha. Jika memang ada, hal inilah yang seharusnya
diselidiki sehingga bisa dipastikan siapa yang sebenarnya harus bertanggung
jawab atas bencana asap yang telah menjadi agenda rutin disetiap tahunnya.
Apakah
dalang-dalang ini merupakan perusahan-perusahaan besar yang hanya memikirkan
keuntungan belaka tanpa adanya keinginan untuk menempuh prosedur yang telah
ditetapkan? Melihat Permentan No. 26 Tahun 2007 pasal 6 yang menyebutkan usaha
perkebunan yang memiliki lahan lebih dari 25 Ha wajib memiliki izin. Izin yang
dimaksud adalah IUP (Izin Usaha Perkebunan), IUP-B (Izin Usaha Perkebunan untuk
Budidaya), dan IUP-P (Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan)
Untuk prosedur
pengajuan izin tersebut, perusahaan harus memenuhi berbagai persyaratan yang
telah diatur dalam pasal 15, 16 dan 17 dimana di pasal tersebut disebutkan
bahwa setiap perusahaan wajib melampirkan Amdal, UKL (Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup), UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) serta pernyataan
kesanggupan memiliki sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pembukaan lahan tanpa pembakaran dan
pengendalian kebakaran. Setelah dirasa lengkap, izin dikeluarkan oleh
Bupati/Gubernur yang ditembuskan kepada Menteri.
Melihat aturan
yang telah ditetapkan, ketika terjadi kebakaran perusahaan-perusahaan dapat
berdalih dengan bukan mereka yang menyebabkan kebakaran karena mereka telah memiliki
izin-izin yang telah disebutkan di atas. Sehingga pandangan publik yang
terbentuk yaitu memang masyarakat yang menyebabkan kebakaran tersebut. Namun,
apakah izin yang dikeluarkan tersebut telah sesuai ditinjau dari kondisi yang
sebenarnya dilapang? Tidak sedikit perusahan yang kini telah memiliki IUP namun
pada pelaksanaannya dilapang sangat tidak memenuhi standar untuk melakukan
pengendalian kebakaran sehingga ketika terjadi kebakaran seperti saat ini.
Kebakaran yang terjadi mencapai lebih dari 3000 Ha dan sangat merugikan.
Andaikan
perusahan tersebut benar-benar menyatakan kesanggupannya untuk melakukan upaya
pengendalian kebakaran, maka hal ini tidak perlu sampai terjadi. Pada Permentan
No. 26 Tahun 2007 pasal 34 dijelaskan bahwa setiap perusahaan wajib untuk
memenuhi dan menjalankan persyaratan yang telah diajukan. Jika memang perusahaan
tersebut tidak dapat menjalani persyaratan tersebut, maka HGU-nya sesuai oleh
instansi terkait atas usulan Menteri yang sebelumnya telah diusulkan oleh
gubernur/walikota.
Kembali
ke masyarakat yang membuka lahan, bagaimana bisa mereka memiliki lahan yang
luasnya bisa lebih dari 25 Ha tanpa memiliki IUP. Jawabannya adalah dengan
mengurus SKT (Surat Keterangan Tanah) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa
setempat dengan biaya yang dikeluarkan Rp 3.500.000/Ha nya. Lagi-lagi yang
menjadi pertanyaan adalah bagaimana bisa mereka (yang menyatakan masyarakat
kecil) ini mempunyai dana yang begitu besar tanpa ada yang memberikan modal?
Jika
dilihat permasalahannya, ini sudah seperti lingkaran setan. Dimana semua pihak
saling sokong-menyokong. Baik dari perusahaan, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat itu sendiri. Bagaimana bisa perusahaan dapat memiliki izin jika
tidak memenuhi prosedur yang ada, bagaimana bisa masyarakat kecil dapat
mengakses lahan dengan hanya dengan SKT diatas tanah Negara? Sesuaikah hal
tersebut dengan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan?
Terkadang
semua ini begitu kasat mata, semua data dan fakta seakan-akan (atau memang)
ditutup-tutupi. Ataukah semua data dan fakta ini telah tertutup oleh tebalnya
asap sehingga kita terbuai oleh pemberitaan media? Peninjauan kembali perlu dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan yang
terlibat dalam kebakaran ini dan proses hukum perlu untuk dilakukan secara
menyeluruh baik terhadap pelaku pembakaran, Pemerintah Daerah yang telah
memberikan izin apabila terdapat penyimpangan-penyimpangan prosedur dalam
pengajuan izin dan pada perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi serta
menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah diatur.
Tegar Patidjaya K
PC Sylva Indonesia IPB
Komentar
Posting Komentar